Sekali lagi kita membahas Semiotika. Karna hidup ini hanyalah kumpulan dari tanda-tanda itu sendiri. Mungkin masih ada yang belum mengenal apa itu semiotika? Mari kita sedikit merefresh bersama. Kemudian mencoba mengkaitkannya pada sebuah lagu.
Kata semiotika berasal dari bahasa yunani, semeion yang berarti “tanda” (Van Zoest, 1996:vii). Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Kurniawan, 2001:49).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkontitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179).
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra misalnya ini misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik).
Berbicara tentang semiotika, maka terdapat dua pendekatan yang seringkali dijadikan sebagai rujukan para ahli, yakni semiotika komunikasi yang dipelopori oleh Charles Sander Peirce dan semiotika signifikasi yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) (Hoed, 2001:140
Nah. Diantara kalian pasti sering mendengarkan radio kemudian merequest sebuah lagu yang akan disampaikan pada seseorang sebagai penerima tanda, “pesan ada pada lagu”. Secara tidak sadar kita telah menerapkan 6 hukum komunikasi menurut Hoed melalui sebuah lagu sebagai medianya. Atau mungkin orang tua kita mempunyai sebuah lagu nostalgia tentang perjalanan hubungan mereka berdua, mereka sudah merasa terwakili dengan sebuah lagu karena tanda perasan mereka ada didalamnya. Inilah Romantisme Semiotika, Bung..
Saya akan coba mengkaitkan dengan sebuah lagu Vidi Aldiano:Nuansa Bening Bahwa kata-kata adalah rantai penanda yang artinya terus berkembang.
Nuansa Bening
oh tiada yang hebat dan mempesona
ketika kau lewat di hadapanku
biasa saja
waktu perkenalan terjalin sudah
ada yang menarik pancaran diri
terus mengganggu
mendengar cerita sehari-hari
yang wajar tapi tetap mengasyikkan
oh tiada kejutan pesona diri
pertama kujabat jemari tanganmu
biasa saja
masa perkenalan lewatlah sudah
ada yang menarik bayang-bayangmu
tak mau pergi
dirimu nuansa-nuansa ilham
hamparan laut tiada bertepi
kini terasa sungguh
semakin engkau jauh
semakin terasa dekat
akan tumbuh kembangkan
kasih yang kau tanam
di dalam hatiku
menatap nuansa-nuansa bening
tulusnya doa bercita
Jika kita mencermati bait pertama (oh tiada yang hebat dan mempesona, ketika kau lewat di hadapanku, biasa saja), kita hanya akan menangkap ungkapan ungkapan seorang laki-laki mengenai seorang (gadis) yang terkesan biasa saja.
Pada bait kedua, kita akan menemui kalimat: waktu perkenalan terjalin sudah, ada yang menarik pancaran diri, terus mengganggu. Pada bait ini pemahaman akan berubah lagi. Sosok yang tampak biasa saja kemudian dikenal; pada perkenalan itu si laki-laki merasa ada sesuatu yang mengganggu. Namun, sampai di sini, belum jelas apa yang mengganggu.
Pada bait ketiga, ada kalimat: mendengar cerita sehari-hari, yang wajar tapi tetap mengasyikkan. Para pendengar lagu ini belum dijelaskan apa yang mengganggu, namun si laki-laki justru menceritakan keseharian yang terkesan wajar tapi mengasyikkan. Sampai di sini, makna dan arah belum tercapai secara utuh.
Pada bait keempat ada kalimat: oh tiada kejutan pesona diri, pertama kujabat jemari tanganmu, biasa saja; yang seolah flashback kembali pada momen perkenalan antara si laki-laki dan perempuan. Dilanjutkan dengan bait ke lima: masa perkenalan lewatlah sudah, ada yang menarik bayang-bayangmu, tak mau pergi; yang seolah mempertegas kembali bait kedua.
Pada bait keenam barulah ada sedikit penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dirasakan oleh si laki-laki. Tergambar alam kalimat: dirimu nuansa-nuansa ilham, hamparan laut tiada bertepi. Dipertegas dengan bait ketujuh: kini terasa sungguh, semakin engkau jauh, semakin terasa dekat. Kendati tidak secara eksplisit menghadirkan kata ?cinta? tapi pendengar lagu ini dapat memperoleh gambaran mengenai perasaan seorang laki-laki yang tengah jatuh cinta.
Menarik ketika kita cermati bait ketujuh dan kedelapan, di mana ada kalimat: akan tumbuh kembangkan, kasih yang kau tanam di dalam hatiku, menatap nuansa-nuansa bening, tulusnya doa bercita. Lagu ini tidak memberikan ending yang jelas sehingga lebih merupakan penanda yang tak pernah berakhir (the never-ending signifier). Interpretasinya dapat terus berjalan, dan ada banyak kemungkinan yang dapat muncul.