Selasa, 28 Februari 2012

Kita Vs Korupsi


Film Kita Vs Korupsi merupakan kumpulan 4 film pendek yang berjudul Rumah Perkara, Aku Padamu, Selamat Siang, Risa! dan PSSSTTT...Jangan Bilang Siapa-Siapa. Film yang terlahir dari hasil kerjasama Transparency International Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Management Systems International, USAID dan Cangkir Kopi.

Salah satu cara yang disajikan KPK untuk memberikan pendidikan tentang "anti korupsi" melalui film. Film menurut Abraham Samad sebagai ketua KPK adalah "seni komunikasi yang bersifat universal sehingga diharapkan dapat memberikan pendidikan yang meluas tentang korupsi". Abraham Samad juga mengaku bahwa inspirasi film ini terlahir atas kesukaannya atas film Welcome to Serejevo.

Kesempatan hari ini UNHAS menjadi salah satu Universitas yang disinggahi KPK untuk memulai kampanye anti korupsi kekalangan calon masa depan bangsa. Film ini sengaja diputar gratis di Universitas di Indonesia sebagai bentuk penyebar luasan jenis, dampak dan bahaya korupsi dengan konsep yang berbeda dan mudah dipahami lebih mendasar.

Korupsi itu merupakan kesalahan yang membudaya diIndonesia. Tercipta karena kondisi dari kita sendiri. Tak perlu menjadi anggota KPK untuk memberantas korupsi, menjadi diri sendiri pun bisa. Dengan tidak menggunakan calo pada saat pengurusan SIM, STNK juga merupakan bentuk pemberantasan korupsi. Calo ada karena kita butuhkan, jika kita bisa sabar dalam mengurus surat-surat tersebut mereka akan hilang dengan sendirinya. Kesadaran yang mendasar seperti ini lah yang ingin ditumbuhkan pada masyarakat agar membantu menghilangkan korupsi pada hal yang mendasar.





Rumah Perkara

Film pertama yang menjadi rangkaian kumpulan film dari Kami Vs Korupsi adalah Rumah Perkara. Film karya sutradara Emil Heradi ini bercerita tentang seorang lurah bernama Yatna disebuah desa yang melakukan tindak pidana korupsi. Korupsi tentang menjual tanah desanya untuk pengembangan pembangunan real estate atau kompleks pemukiman mewah. Korupsi ini dilakukan bersama sang lurah.

Satu persatu warga disingkirkan agar mempermudah proses pembangunan kawasan elit itu. Tak ada lagi teman bermain dari anak sang lurah. Tersisa seorang janda yang bertahan dengan rumahnya karena tak ingjn pindah. Janda tersebut tidak lain adalah istri simpanan dari sang lurah.Hingga akhirnya karena si janda tak mau pindah cara terakhir yang dipakai adalah dengan membakar rumah si janda itu. Si janda dan si anak dari lurah pun mati dalam kejadian tersebut.

Disini yang dapat saya lihat adalah, korban pertama yang terkena imbas jika kita melakukan korupsi adalah keluarga dan orang-orang tersayang tersebut. Mereka menjadi korban karena jika kita korupsi orang yang akan merasakan kerugiannya adalah mereka, meskipun kita sering beralasan ingin membahagiakan keluarga. Di film ini si korban adalah anak dari si lurah, dia tersingkirkan dari teman-teman kecilnya karena temannya telah pindah dari desa tersebut. Si anak merasa seperti terasingkan dengan lingkungan nya. Tidak disadari bahwa anak tersebut telah menjadi sosok yang tak mengenal lagi dengan dunia sosial.

Korupsi disini lebih dibahasakan bahwa dapat terjadi kepada pejabat berseragam meskipun hanya ditingkat lurah. Kepentingan para pemodal mampu merubah janji awal mereka untuk mensejahterahkan masyarakat desa tersebut. Ketika kita telah terjebak pada sebuah posisi, kita akan melupakan hak orang lain (masyarakat pada umumnya)

Hidup itu Awalnya Seperti Toples Kosong


Seorang Professor berdiri di depan kelas Filsafat.


Saat kelas dimulai, dia mengambil toples kosong dan mengisi dengan bola-bola golf.

Kemudian berkata kepada murid-muridnya, apakah toples sudah penuh...... ?

Mereka setuju !!!!


Kemudian dia menuangkan batu koral ke dalam toples, mengguncang dengan ringan.

Batu-batu koral mengisi tempat yang kosong di antara bola-bola golf.

Kemudian dia bertanya kepada murid-muridnya, apakah toples sudah penuh ??

Mereka setuju !!!


Selanjutnya dia menabur pasir ke dalam toples ...

Tentu saja pasir menutupi semuanya.

Profesor sekali lagi bertanya apakah toples sudah penuh?.

Para murid berkata, "Yes"...!!


Kemudian dia menuangkan dua cangkir kopi ke dalam toples, dan secara efektif mengisi ruangan kosong di antara pasir.

Para murid tertawa....


"Sekarang.. saya ingin kalian memahami bahwa toples ini mewakili kehidupanmu. "

"Bola-bola golf adalah hal yang penting; Tuhan, keluarga, anak2, kesehatan.

"Jika yang lain hilang dan hanya tinggal mereka, maka hidupmu masih tetap penuh."


"Batu-batu koral adalah hal-hal lain, seperti pekerjaanmu, rumah dan mobil."

"Pasir adalah hal-hal yang sepele."

"Jika kalian pertama kali memasukkan pasir ke dalam toples, maka tidak akan tersisa ruangan untuk batu-batu koral ataupun untuk bola-bola golf..


Hal yang sama akan terjadi dalam hidupmu."

"Jika kalian menghabiskan energi untuk hal-hal yang sepele, kalian tidak akan mempunyai ruang untuk hal-hal yang penting buat kalian."

"Jadi Beri perhatian untuk hal-hal yang penting untuk kebahagiaanmu.

"Bermainlah dengan anak-anakmu."

"Luangkan waktu untuk check-up kesehatan."

"Ajak pasanganmu untuk keluar makan malam"

"Berikan perhatian terlebih dahulu kepada bola-bola golf.

Hal-hal yang benar-benar penting. Atur prioritasmu.

Baru yg terakhir, urus pasirnya.


"Salah satu murid mengangkat tangan dan bertanya, "Kopi mewakili apa?

Profesor tersenyum, "Saya senang kamu bertanya."

"Itu untuk menunjukkan kepada kalian, sekalipun hidupmu tampak sedih sangat penuh, tetap selalu tersedia tempat untuk secangkir kopi bersama sahabat".


Referensi: http://www.facebook.com/note.php?note_id=422029224159

Jumat, 24 Februari 2012

Kekerasan Akademik di Kampus


Menurut Blask (1951) kekerasan, violence, adalah pemakaian kekuatan, force, yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang tak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar, dan menghina. Kekuatan itu, biasanya kekuatan fisik, disalahgunakan terhadap hak-hak umum, terhadap aturan hukum dan kebebasan umum, sehingga bertentangan dengan hukum.

Pemilik kekuatan tertinggi di kampus sudah pasti mereka sang birokrat yang terdiri dari dosen-dosen sebagai seorang yang mengajar kita didalam kelas. Interaksi kita tak pernah lepas dari mereka selama masih menyandang status mahasiswa. Mulai dari kita masuk kuliah kita telah bertemu dan dengan mereka di Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB), sebuah proses penyambutan mahasiswa baru yang diadakan di Baruga A.P. Pettarani untuk mahasiswa UNHAS, hingga dalam proses ujian skripsi. Semua tak pernah lepas dari mereka sang pendidik. Dan mereka adalah sang penyusun sistem yang berlaku dikampus.

Di Fakultas Ekoonomi UNHAS, lebih tepatnya pada jurusan Akuntansi kekerasan akademik yang berlaku adalah kekerasan tidak langsung yang mampu menyerang si Mahasiswa itu sendiri dan menyerang mental. Semua dikarenakan sebuah sistem tentang kurikulum mata kuliah yang diprogramkan. Mata kuliah yang berlaku itu merupakan mata kuliah yang bersyarat. Misalnya saya tidak bisa mengambil mata kuliah Akuntansi Keuangan lanjutan 2 jika tidak lulus matakuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan 1, sedangkan mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan 1 bisa saya programkan kembali pada 2 semester berikutnya atau tahun depan. Nah, bentuk kekerasannya disini dapat dilihat dari perlakuan sistem program mata kuliahnya yang secara tidak langsung menyerang psikologis mahasiswa tersebut. Bayangkan saja jika seorang mahasiswa tidak lulus 1 mata kuliah saja, sudah pasti dia akan terlambat 1 tahun untuk selesei.

Mahasiswa tak dapat disalahkan sepenuhnya jika dia tidak lulus, terkadang kita menghadapi karakter dosen yang berbeda-beda.

· Ada tipe dosen yang sangat tidak objektif, meskipun kita malas dalam mengerjakan tugas nilai kita akan sama dengan nilai teman kita yang sangat rajin dan aktif dalam segala penilaian kepatutan mahasiswa pada umumnya dikelas.

· Ada pula tipe seorang dosen yang sangat perfeksionis, atau jika dia tidak mampu mengerjakan 1 tugasnya yang memberatkan, misalnya membuat ringkasan mata kuliah yang terdiri dari 10 halaman double folio maka dia tidak akan lulus.

· Ada pula tipe dosen yang sensitif, jika kita pernah secara langsung atau tidak langsung menyinggung dia, misalnya tentang seorang dosen yang kebetulan menjabat menjadi salah satu wakil dekan dan terindikasi terlibat dalam penyelewengan dana difakultas yang berhasil diungkap oleh jurnalis-jurnalis fakultas. Kemudian tanpa sebab yang jelas dia dapat saja memberikan nilai error untuk mata kuliahnya jika kita ketahuan sebagai salah satu dari bagian jurnalis-jurnalis tersebut.

Secara Ilmu Psikologi Contoh kasus kekerasan pendidikan diatas tergolong kategori perilaku agresi. Bisa dikatakan Perilaku agresi, karena seseorang memberikan stimulus tidak menyenangkan yang merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991 yang menyatakan bahwa agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kemudian kekerasan prilaku agresi inilah yang memicu ke kekerasan akademik selanjutnya.

Jika kita telah mendapatkan nilai Error dari salah satu tipe dosen diatas sudah pasti kalian akan tinggal lebih lama dikampus atau akan terlambat dalam lulus. Semua karena sebuah sistem pendidikan yang diberlakukan pada fakultas itu sangat membatasi gerak mahasiswa untuk cepat selesei. Ini yang saya artikan sebagai kekerasan akademik. Kekerasan yang berlindung pada sistem pendidikan dan membuat pembatasan dalam melanjutkan proses belajar. Bukan main dampak yang diberikan dari kekerasan akademik ini, yaitu:

1. Terlambat 1 tahun untuk selesei

2. Biaya kuliah yang semakin bertambah

3. Umur produktif kerja telah terpotong dibangku kuliah.

Beban Psikologis yang ditanggung oleh mereka yang kuliah di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UNHAS sangatlah berat. Mereka dapat kapan saja divonis terlambat selesei jika telah bertemu diruang kelas dengan dosen tipe tertentu yang telah dibahas dan mendapatkan nilai Error. Kombinasi penunjang untuk menahan kita lebih lama pada sebuah sistem yang menguras biaya pendidikan kita.

Inti permasalahannya sebenarnya berada pada kebijakan akademik tentang pemrograman mata kuliah yang tidak dilulusi ini. Untuk tidak menahan mahasiswa 1 tahun untuk memprogramkan mata kuliah yang tidak dilulusi, seharusnya akademik membuat kebijakan bahwa mata kuliah tersebut dapat diambil pada semester depan atau tidak menunggu 1 tahun lagi. Jika kebijakan ini dapat diterapkan beban psikologi dari dosen-dosen yang dibahas tadi tidak akan terlalu mempengaruhi dalam proses belajar nantinya.

Semoga para pengajar dan para birokrat fakultas dapat memahami kondisi mahasiswa pada umumnya, dan perlunya pengenalan iklim demokratis pendidikan pada mereka. Agar para petinggi fakultas mampu mengetahui tentang kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan ternyata sangat memberatkan mahasiswa dan menjadi bentuk kekerasan akademik di kampus.

Rabu, 22 Februari 2012

Solusi Kesalahan Penafsiran

Semiotika..

Sekali lagi saya membahas tentang tanda. Saya hidup dengan tanda. Saya selama ini adalah bagian tanda. Tanda itu bersifat tidak terbatas. Dunia ini adalah tanda. Saya dan dia, tanda.


Tanda itu bersifat multi penafsiran. Semua karena kitalah sebagai penafsir tanda tersebut. Terkadang makna yang kita tangkap atau kita tafsirkan berbeda dengan penafsiran orang lain, itu juga dapat dikatakan multi tafsir. Begitu banyak sudut pandang untuk bisa melihat tanda ini. Misalnya sebagai contoh adalah note ini, ada yang menafsirkan bahwa sebagai media untuk pengetahuanku yang sederhana tentang semiotika. Ada pula yang menafsirkan sebagai bentuk keisengan semata, dan ada pula yang menafsirkan sebagai bentuk kecintaanku terhadap filsafat bahasa. Tak heran jika muncul penafsiran seperti itu, karena pemaknaan setiap orang berbeda-beda.


Sebenarnya terlahirnya note ini sebagai bentuk singgungan terhadap kehidupan tentang petanda dan penanda. Dengan model penulisan seperti bercerita, semoga pengetahuan tentang semiotika dapat dengan mudah terserap, seperti saat membaca Dunia Sophie. Seperti inilah cara agar tak terjadinya pembiasan makna, ada kalimat penjelas tentang makna yang ingin disampaikan meskipun akan menghasilkan makna dan makna yang lainnya.


Namun berbeda dengan saya yang selalu menafsirkannya tanpa menemukan kalimat penjelas, dan akhirnya terjadi kesalahan penafsiran. Kemarin saya mengira saya dan ternyata bukan saya yang dimaksud selama ini. Seperti itulah pembiasan makna nya. Terlalu lama untuk terjebak dalam pembiasan kemarin.

Sabtu, 18 Februari 2012

Sex, Lies & Cigarettes'- Vanguard Sneak Peek


Mungkin ini bukan lah film yang beredar dibioskop-bioskop dikota kalian berada. Sex, Lies and Cigarettes merupakan sebuah film dokumenter yang dibuat oleh koresponden Christof Putzel ketika pada tahun 2010 silam ia meliput Konferensi Dunia Untuk Tembakau. Film ini menjadi salah satu episode dari serial dokumenter Vanguard season 5 yang ditayangkan oleh Current TV.

Seluruh dunia tengah menyorot si bocah perokok, Aldi. Videonya di Youtube membuatnya cepat menjadi bahan pembicaraan. Dia satu-satunya perokok yang paling terkenal dari Indonesia. Akhirnya ditelusurilah apa penyebab anak umur 2 tahun ini bisa mengenal rokok. Oleh karena itulah mereka mulai menginvestigasi tentang rokok di Indonesia.

Jika dibandingkan dengan Amerika, harga sebungkus rokok di Indonesia itu sangatlah murah. Di Amerika sebungkus Marlboro dihargai $12 , sedangkan disini dihargai $2 saja. Inilah salah satu alasan mengapa konsumen rokok meningkat tiap tahunnya. Amerika sengaja membuat pajak yang tinggi di rokok karena mereka telah sadar akan dampak krisis kesehatan kedepannya. Itulah juga yang menjadi alasan berpindahnya target pemasaran industri rokok ke Indonesia.

Penyebab lain mengapa perokok aktif begitu meningkat di Indonesia adalah adanya peran media yang mulai menyusupi brand-brand anak muda saat ini. Lihat saja iklan-iklan rokok saat ini, kebebasan, petualangan dan gaya anak muda lainnya menjadi icon dari rokok. Lihat saja di setiap konser musik di Indonesia, sebagian besar di hiasi oleh logo-logo perusahaan rokok ternama diposter, spanduk, sampai ditempat konsernya. Mereka lah yang mensponsori acara musik-musik itu. Lebih herannya lagi, sponsor terbesar dari pertandingan bola di Indonesia adalah perusahaan rokok terbesar diIndonesia. Perusahaan tersebut tahu bahwa penduduk Indonesia banyak yang suka sepak bola, sehingga dia menyentuh masyarakat dengan pertandingan sepak bola itu sendiri. Hebat proses pemasarannya.

Tidak di Jalan, di tivi, di radio, dan dimana saja indera kita berfungsi mungkin iklan rokok dapat ditemui yang juga dapat dilihat oleh anak-anak yang lain. “Target penjualan rokok memang kepada 17 tahun ke atas, namun itu adalah target resminya, sedangkan target tidak resminya adalah 14 tahun” ujar seorang yang pernah bekerja dibagian pemasaran disebuah perusahaan rokok ternama di Indonesia.

Mungkin saja jika pemerintah mengeluarkan iklan kesehatan tentang bahayanya merokok, para perokok yang sedang menghisap sebatang rokok akan segera berhenti, cepat atau lambat. Namun ternyata disini tidak. Pemerintah malah ketakutan akan kehilangan sumber pendapatan pajak terbesarnya dari rokok. Rela masyarakatnya sekarat karena asap diparu-parunya untuk mendapatkan pemasukan pajak. Berkedok melindungi pekerja, namun ternyata hasil dari pekerja lah yang diinginkan. Jika suatu saat rokok berkurang sudah pasti pekerja akan berkurang di perusahaan rokok, nah disinilah solusi sebenarnya yang seharusnya pemerintah cari. Tentang lapangan kerja pengganti untuk para pekerja nanti.

Untungnya saya sebagai penulis tidak menjadi salah satu korban yang terpengaruh akan kenikmatan tembakau yang terbungkus kertas itu. Sadar akan bahayanya menjadi tameng untuk diri sendiri tentunya. Film yang menarik dinonton sambil menghisap rokok, agar diakhir film nanti bisa mematikan rokok secara permanent.

Mungkin Jika ada yang ingin menonton filmnya bisa klik disini

Kamis, 16 Februari 2012

Hidup itu Seperti Main Film


Hidup itu seperti bermain film, kita harus membaca naskah (mengkonsepkan) dahulu sebelum berakting (bertindak). Naskah disini saya artikan sebagai proses memahami, mengerti atau mempelajari tentang yang akan dilakukan didepan kamera nanti.

Kamera biasanya diartikan sebagai media perekam gambarnya, tapi disini saya mengartikan langsung sebagai mata masyarakatnya itu sendiri,. Mereka merekam melalui ingatan mereka tentang gerak aksiden kita. Mereka adalah orang ketiga dan sudah pasti bukan sebagai lawan main saya secara langsung nantinya. Merekalah yang menyaksikan dan menilai segala tindakan-tindakan kita. Mata mereka merekam bagaikan kamera.

Siapa lawan main saya di film kehidupan ini?, sudah pasti mereka adalah keluarga, teman, sahabat dan semua orang yang berinteraksi sosial dengan saya. Mereka lah lawan main saya disini, karena kehidupan saya tidak lepas dari interaksi sosialku dengan mereka.Mereka bisa menjadi lawan main saya dalam film kehidupan ini dan bisa juga hanya menyaksikan dan menilai segala tindakan-tindakan ini.

Directornya Allah SWT. Peran sang Director disini memberikan pengarahan kepada si Aktor, siAktor selalu berkomunikasi tentang Sang Director dalam kehidupannya sehari-hari. Kedekatan si Aktor disini sebagai bentuk terima kasih karena telah terpilih untuk bisa bermain di film kehidupan ini, dan karenaNya lah saya ada disini. Thanks to Allah.

Dalam teori dramaturgi (teori sosiologi) terdapat 2 bagian,Front Stage dan Back Stage. Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang aktor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor)

Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman (tokoh Dramaturgi), tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (ngerumpi, dsb). Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat istirahat makan siang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.

Senin, 13 Februari 2012

Resensi The Last Samurai


Judul Film: The Last Samurai
Pemain: Tom Cruse, Ken Watanabe, Timothy Spall, Billy Connolly, Tony Goldwyn
Sutradara: Edward Zwick
Penulis Naskah: John Logan, Marshal Herskovitz
Produksi: Warner Bros

The Last Samurai sebuah film yang bercerita tentang sebuah kebudayaan Jepang. Kebudayaan yang berusaha dihilangkan dengan alasan modernisasi dan terinspirasi oleh negara barat.

Semua berawal ketika Kapten Nathan Algren (Tom Cruse) disuruh untuk melatih pasukan jepang untuk melawan para samurai. Para samurai dianggap sebagai kaum pemberontak dikarenakan mereka membantah sang Kaisar dengan kebijakannya yang melarang penggunaan pedang dalam sehari-hari. Disini kaum samurai dipimpin oleh Katsumoto (Watanabe Ken) mencoba mempertahankan budayanya mereka.

Perang antara pasukan jepang yang masih amatiran dalam segi berperang yang dipimpin oleh Kapten Algren dan para kaum samurai yang dipimpin oleh Katsumoto tak dapat terelakkan. Berakhir dengan ditawannya Kapten Algren oleh kaum Samurai. Disini saya melihat dalam memperlakukan seorang musuhnya, Katsumoto memperlakukan selayaknya dia adalah keluarga. Itulah kebudayaan mereka, menghormati sebagai tamu meskipun itu adalah musuhnya.

Ketika di tawan, kapten Algren merasakan sebuah kedamaian di desa kaum Samurai ini. Kedisiplinan dan keteraturan sangat terasa ketika dia mengelilingi desa ini. Riuh pikuk perkotaan tidak terasa disini, itu yang membuat dia merasakan bahwa telah terjadi hubungan spiritual dengan alam.

Disini lah dia mempelajari bahwa yang terjadi sebenarnya adalah, Amerika (negara barat) mencoba untuk membuat strategi dagang (senjata mesin) dengan jepang yang juga membuat Kaisar jepang bingung tentang apa yang harus dia prioritaskan, modernisasi atau kebudayaannya. Akhirnya sejak saat itu Kapten Algren memilih untuk berada di pihak Katsumoto untuk mempertahankan kebudayaannya.

Kehidupan bersama para Samurai dia jalani hingga akhir musim dingin. Kapten Algren secara tidak langsung telah membentuk sebuah karakter baru, seorang samurai.Benar ternyata bahwa kepribadian kita itu dibentuk oleh lingkungan kita sendiri.

Perang pun tak dapat dihindari. Katsumoto berusaha mempertahankan prinsipnya tentang jati dirinya, dan para petinggi kerajaan juga telah dibutakan dengan perjanjian-perjanjian oleh negara asing tentang modernisasi.

Pasukan Samurai Katsumoto kalah telak. Diakhir perang Katsumoto terduduk untuk melakukan ritual menghunuskan pedang sebagai tanda dia telah kalah di perang ini sebagai bentuk menjaga kehormatannya dengan dibantu oleh Kapten Algren. Pasukan Jepang yang dihadapi oleh Katsumoto pun berlutut pula sebagai bentuk penghormatan terakhirnya kepada orang yang berusaha menjaga kebudayaan bangsanya sendiri.

Disini saya mendapatkan sebuah pesan bahwa:

Jangan melupakan kebudayaan sendiri hanya untuk menuju modernitas,Karna kebudayaan kita itu adalah identitas kita dimata dunia.

Ada satu bagian ketika Kapten Algren sedang bertanding kendo (pedang tiruan dari kayu) dengan seorang anak buah Katsumoto. Dia berkali-kali kalah, kemudian seorang keluarga Katsumoto berbisik bahwa dia terlalu banyak berpikir, fokuslash. Ternyata benar, Algren terlalu banyak hal yang dia pikirkan cara memenangkan pertandingan, perang dengan jepang menjadi beberapa yang dia pikirkan. Ketenangan lah yang dia butuhkan untuk menyeleseikan sebuah masalah.

Senin, 06 Februari 2012

Panas meninggi peluh hasil kerja-kerja sosial membasahi..
Jalan riuh berbagai bunyi..
Kami punya perang sendiri-sendiri..
Pada penghabisan hari adalah lelah..

Kata-kata menyebar keberbagai penjuru..
Sebagian bahasa sekolahan..
Sebagian bahasa jalanan..
Disana kita bertemu dalam padat kota..

Seperti biasa..
Kata-kata pertama adalah bahasa kesopanan yang sudah basi..
Setiap kita punya kubu..
Aku dan kamu..
Hanyalah bagian semesta yang mengisi lekuk bumi..
Bercerita kita pada alur masing..

Aku bertanya pada diriku..
"Ini apa?"

bicara asmara mungkin terlalu dini..
Tapi jujur, kuakui bayanganmu sampai kepintu rumahku..

Ada penyesalan kecil..
Lupa aku menggali keberadaanmu..
Kesempatan lewat..
Aku melebur pada kepadatan suasana kampus..

Rabu, 01 Februari 2012

Galau Adalah Syarat Pergaulan?

Ketika mereka semua membahas tentang dirinya mereka yang galau, kok mereka merasa senang yaa? Mereka merasa dirinya gaul, lebih gaul dari pada teman-temannya yang ndak galau. Secara tidak langsung mereka mengatakan “yang galau, yang gaul“. Jika iya, berarti Galau sama saja seperti rokok, yang merokok, yang gaul (standarisasi pergaulan). Yang memiliki BlackBerry, yang gaul. Sama seperti itu bukan?

Inikah cerminan anak muda saat ini. Ketika dia sedang terjebak dalam masalah, mereka malah menyukainya. Entahlah jika mereka berfikir bahwa “galau adalah proses pendewasaan diri”, nah yang parahnya itu kalau mereka berfikir kalau “Saya galau, saya galau, saya galau” tanpa ada proses penyeleseian. Aneh bukan.

Jika mereka berfikir “galau adalah proses pendewasaan diri”, itu adalah fase dimana seseorang mengambil hikmah dari datangnya sebuah masalah. Dia mempelajari kalau kedepannya hal yang harus dilakukan dan dihindari adalah begini dan begitu. Proses pembelajaran diri dan mengevaluasinya kembali. Lebih bijak meskipun standar bijak disini berbeda, tapi ketika mereka tidak terjebak pada kegalauan dengan tema yang sama kedepannya, pada saat itulah mereka layak diberikan predikat bijak dalam menghadapi kegalauan sebelumnya.

Namun Jika berfikir kalau “Saya galau, saya galau, saya galau”, itu adalah fase dimana kau telah jatuh terlalu dalam pada kegalauanmu sendiri tanpa adanya proses penyeleseian, entahlah jika mereka menikmati masa-masa galau tersebut. Pada fase ini seperti memamerkan diri kalo dirinya sedang galau, apa tujuannya? Pamer? Semoga tidak. Semoga tujuannya memamerkan bahwa dirinya galau itu untuk mencari orang untuk membantu menyeleseikan masa kegalauannya dengan cepat. Yaa... Semoga.

Sekarang, keluarlah segera dari labirin galau itu. Teriaklah minta tolong dengan orang-orang terdekatmu untuk menolong.Temukan arti galaumu dan Move On lah..Move On lah.. Move On lah meskipun itu sulit.